“Kemana anak itu pergi?”
“Wah, ngga tahu yah, Vin. Ke kantin kali.”
“Dasar tuh anak.”
“Kenapa sih?”
“Uang kantin dia korup semua.”
“Hah? Berapa?”
O.. o.. dalam situasi seperti ini aku sebaiknya tidak memunculkan kepalaku. Untuk menghindari berbagai pertanyaan tentang uang yang pada kenyataannya sudah lenyap dari sakuku. Jadi kuteruskan saja berjongkok di bawah jendela luar kelas, berusaha untuk sedikit menikmati pemandangan sepeda-sepeda motor yang berjejer di depanku.
“Ra..”
“Ssshh..!” kugerakkan telunjukku ke depan mulut.
Hari berjongkok, memandangku dengan penuh tanya.
“Nih, rokoknya.”
“Berapa pak?” tanyaku sambil berbisik.
“Empat Surya, satu Marlboro.”
“Sip..” ujarku sambil mengambil bungkusan plastik itu dari tangan Hari.
Mengintip isinya sejenak, berusaha memastikan benda-benda yang terdapat di dalamnya.
“Ray, Marlboronya buat siapa?”
“Ssshh! Ada deh.”
“Raayy!”
Yaiks. Sebuah kepala muncul dari balik jendela. “Lari!”. Kudorong tubuh Hari dan segera mengambil langkah seribu.
“Wah, kebetulan sekali.”
“Hehehe..” kutarik bibirku tersenyum, memandang wajah Yono yang berseri-seri melihat empat bungkus Surya di dalam kantung plastik di tangannya.
“Jadi?” tanyaku kemudian.
“Beres. Jangan khawatir. Semua beres.”
“Bagus.”
“Ada apa, Ray?”
Kupandangi wajah gadis itu yang bertanya-tanya. “Ehm,” kuambil sikap serius, “Aku ingin ngomong sama kamu.”
“Masalah apa? Masalah bimbel kemarin?”
“Bukan.”
“Bukan, bukan itu.”
“Lalu?” matanya tampak bingung. Aku menyukai gerakan matanya.
“Jangan-jangan..”
“Hey, tenang. Aku tidak akan memperkosamu. Setidaknya detik ini.”
Susan tertawa mendengar selorohanku. Maklumlah, soalnya sekolah sudah mulai terlihat sepi. Bahkan Yono yang biasanya sibuk mengunci pintu-pintu kelas sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya. Tentu saja.
“San,” desahku perlahan.
“Hmm?”
“Ehm lagi. Semoga berhasil. Good luck, Ray. Seperti yang mereka ucapkan kepadaku sebelum mereka..”
“Aku mau mencium bibir kamu.”
Sembunyi di balik jendela.
“Ha?” mata gadis itu mendelik menatapku.
Tenang, tenang. jangan memperlihatkan kegugupan.
“Maksud kamu, Ray?”
Lihat matanya. Lihat matanya. Tidak ada waktu mundur.
“Iya. Aku ingin mencium bibir kamu.”
“Ngawur kamu. Udah ah, aku mau pulang.”
Stop!
“San, aku mohon jangan pergi dulu. Setidaknya dengar alasanku.”
Gadis itu menggigit bibir bawahnya sejenak dan terlihat menimbang-nimbang. Jadi, tanpa menunggu lebih lama kuletakkan telapak tanganku di atas lengannya, membuatnya sedikit terkesiap, terlihat dari pandangan matanya yang memandang ke sekeliling, seolah khawatir ada yang melihat. Dan tentu saja, ia tidak akan menemukan seorangpun.
“Ray.”
Yap, serang sekarang.
“Aku sebenarnya sudah lama menyukai kamu.”
“Ha?” Kutatap matanya dalam-dalam.
“Iya. Sejak pertama kali kamu pindah dari Bandung.”
“Bohong. Gombal kamu.”
Dan gadis itu tidak menunjukkan gerakan hendak beranjak. Berarti aku telah berhasil melambungkannya walau sedikit. Untungnya ia tidak berkata ‘kamu gila’ atau ‘aku mau pulang’, soalnya kata-kata seperti itu berarti penolakan.
“Aku serius.” Gadis itu mengalihkan pandangannya dari tatapan mataku. Satu lagi bukti bahwa aku telah berhasil meraba sedikit sisi perasaannya.
“Bagaimana dengan Enni? Lalu Uca, May, dan..”
Ini dia. Sebuah keragu-raguan atas penerimaan dalam hatinya. Kuletakkan tanganku di bibirnya, tidak terlalu menekan, hanya menyentuh.
Jangan bicarakan yang sudah lalu. Aku juga perlu makan. Apalagi dengan menu baru yang segar.
“Bagaimana dengan kamu?”
“Aku?” matanya kembali membentur mataku. Susan menundukkan kepalanya.
“Aku kan hanya teman kamu, bukan seseorang yang terlalu penting dalam kehidupan kamu.”
Yah, jangan terlalu serius. Nanti jadi kaku. Fleksibel saja.
Kuangkat lenganku, menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Yah, kupikir kita saling mencintai.”
“Yee,” gadis itu meruncingkan bibirnya yang manis, “Siapa yang mencintai kamu?”
Nih dia.
“Bukannya kamu. Setelah kamu menerimaku menjadi pacarku.”
“Ha?” gadis itu mengangkat kepalanya, menatap senyuman penuh arti yang tersungging di bibirku.
“Nembak nih ceritanya?”
“Jadi kamu nggak mau? Ya sudah.”
Aku bangkit berdiri dari bangku dan bersiap hendak pergi. Gadis itu masih terdiam di tempatnya.
Ayo, katakan sesuatu, Cantik.
Ternyata tidak. Susan hanya terdiam, lalu bangkit berdiri. Shit.
“Oh, ya,” kubalikkan tubuhku, “Kalau kamu berubah pikiran dan menerimaku, katakan saja. Kamu tahu dimana menghubungiku.”
Gadis itu berhenti sejenak, dan menjatuhkan tubuhnya kembali di atas bangku. “Ray, kamu membingungkan.”
Kena.
Kudekati dia. Susan memegangi keningnya dengan tangannya. Wajahnya tampak berkerut kebingungan. Kusilangkan kedua lenganku di atas meja, menaruh kepalaku di atas lenganku, menatap keragu-raguan yang tersirat di wajah gadis itu.
“Kamu tidak percaya padaku?”
“Bukan itu maksudku, Ray. Tapi..”
“Karena terlalu banyak wanita yang mengelilingiku?”
Kuangkat kepalaku dan mengecup keningnya. Membuatnya terhenyak sesaat. Aku tertawa memandangnya.
“Aku hanya bergurau. Lupakan saja.”
Alis mata gadis itu berkerut. “Dasar kamu. Menyusahkan saja.”
Hahaha.. it’s part of the plan. Susan bangkit berdiri dan melangkah ke pintu. Aku menyusulnya dari belakang sambil tertawa-tawa.
“San.”
Susan menoleh, membalikkan tubuhnya dan merasakan dadaku yang bersentuhan dengan dadanya. Hangat. Empuk. Menggairahkan.
“Apa?” tanyanya setelah melangkah sedikit mundur, wajahnya terlihat kemerahan, mungkin karena sikapku yang sama sekali tidak canggung bersentuhan dengannya.
“Aku serius saat aku bilang ingin mencium bibir kamu.”
“Duh, lihat deh. Kamu semakin membingungkan.”
Memang, sengaja. Gadis itu paling lemah kalau sedang bingung.
Mencuri. Itulah yang kulakukan saat kukecup bibirnya. Susan membelalakkan matanya, seolah tersengat oleh aliran listrik.
“Aku serius.”
“Kamu..kamu kurang ajar.”
“Nih, tampar.” kusodorkan pipiku ke hadapannya. Dan demi Tuhan, gadis itu menamparku. Lumayan.
“Awas kalau kamu ulangi lagi.” desis gadis itu. Marah.
Kukembangkan senyumku, yang aku tahu pasti membuatnya semakin marah padaku. Dan memang itu tujuanku.
“Kalau hanya ditampar seperti tadi. Boleh dong keterusan.”
“Jangan pernah mencoba.”
Kalau begitu, kenapa tidak lari? Toh pintu belum terkunci? Mengapa hanya menatapku dengan gusar sambil menggigiti bibirmu yang menggoda itu?
Jadi, ya kutundukkan kepalaku dan mencuri satu kecupan sekali lagi dan tepat seperti dugaanku, gadis itu tidak menolehkan kepalanya menghindari kecupanku. Hanya memandang tidak percaya, dan mengayunkan lengannya sekali lagi.
“Bagaimana kalau dibelai saja? Dan ucapkan bahwa kamu mengijinkanku mencium bibirmu.” ucapku setelah menahan lengannya dan menempelkannya di pipiku.
Susan terdiam, kembali menggigiti bibir bawahnya. Kutarik lengannya dan meletakkannya di pundakku, kutundukkan kepalaku dan mengecup bibirnya, kali ini lebih lama. Dan kulihat matanya terpejam, tubuhnya bergetar. Kecupan pertama? Pasti. Sesuai info. Kurasakan nafasnya yang terengah saat kukulum bibir gadis yang kini sudah kupeluk itu.
Kulepaskan sejenak bibirku, “Aku suka kamu.”
Gadis itu kembali memejamkan matanya saat bibirku menempel kembali. Belajar mencuri nafas saat berciuman memang susah untuk pertama kalinya. Dan aku tidak ingin menyulitkannya, jadi aku meletakkan kepalaku dalam posisi miring, memastikan ia tetap bisa menghirup udara dengan sesekali membuka mulutku.
Gadis itu menikmatinya. Aku tahu itu. Gadis yang menikmati berciuman adalah gadis yang memejamkan matanya saat melakukan ciuman itu. Itu sudah pasti. Sementara aku justru membuka mataku lebar-lebar, menikmati dengan caraku sendiri. Professional, don’t ever mess bussiness with pleasure. Seperti James Bond, dengan gadis-gadisnya. Susan meronta saat jemariku meraih baju belakangnya
dan menariknya keluar.
“Ray, apa-apaan sih.” desahnya sambil terengah di sela bibirku yang menempel di bibirnya.
“Let me touch you.” desahku balik, menggerakkan tanganku menyusup ke balik bajunya, merasakan kulit punggungnya yang halus, menelusuri garis simetris punggungnya, meraba tali bra-nya, dan menggerakkan jemariku berusaha melepaskan kaitannya.
Susan meronta dalam pelukanku. Rupanya dia sedikit tersadar dari buaian perasaannya.
“Sudah, Ray.” ia menggerakkan lengannya mengeluarkan lenganku dari bajunya, di saat jemariku masih berusaha melepaskan kaitan bra-nya.
Aku tersenyum menatapnya. Mendudukkan diriku di atas meja, memandangi gadis itu yang sibuk membenahi bajunya.
“Lihat nih, kacau semua, gara-gara kamu.”
Lalu?
“Sini aku bantu masukin.” ucapku sambil lalu.
Seperti biasa, ucapan sambil lalu akan mendapat respons sambil lalu pula. Lagipula setelah aku berhasil mencium bibirnya, itu sudah memberikan kepercayaan tersendiri baginya. Susan menghampiriku dan membalikkan tubuhnya. Kuraih ujung bajunya dan mengeluarkan sisa tepian baju yang belum keluar.
“Ray!” Susan membalikkan tubuhnya menatapku dengan gusar.
Hehe. Kena lagi.
Kuturunkan tubuhku dari atas meja, meraih kedua lengannya dan mendekatkannya ke arahku, menempelkan bibirku di bibirnya sebelum ia menyadari apa yang terjadi. Dan kali ini, tentu saja, tidak akan ada lagi rontaan yang berarti. Kali ini kugunakan lidahku menelusuri bibirnya, menggoda lidahnya untuk merespons gerakan lidahku. Matanya terpejam dan nafasnya terengah. Kulingkarkan lenganku ke punggungnya dan menekan tubuhnya ke tubuhku.
“Ray.” Susan mendesah, sebuah desahan kepasrahan.
Kususupkan lenganku ke balik bajunya, dan kali ini aku berhasil melepaskan kaitan bra-nya. Mata gadis itu masih terpejam. Nafasnya masih terengah. Kuraba dan kupijat tepian tubuhnya, pinggangnya. Tubuh gadis itu menggeliat ketika telapak tanganku menyentuh puting buah dadanya dari balik bajunya. Kutekan bibirku ke bibirnya, berusaha tetap membuainya dalam kenikmatan kecupanku.
“Sini, ikut aku.” ucapku sambil menggapit lengannya.
Susan tidak menolak. Lagipula bagaimana mungkin ia menolak? Setelah sedemikian kenikmatan yang kuberikan kepadanya? Kuajak ia ke sudut kelas, mengangkat tubuhnya dan setengah mendudukannya di pinggiran meja, menciumi bibirnya, dagunya, lehernya, sementara tanganku bekerja melepas kancing-kancing bajunya.